Pada zaman global sekarang ini, bila ada perubahan dan itu tidak pasti maka kelak akan di tinggalkan oleh masyarakat. Terlebih lagi calon pemimpin yang hanya mengumbar visi misi tak berbuah manis apapun juga. Masyarakat Indonesia yang notabene hanya berpendidikan tak sampai ke perguruan tinggi pun tak ingin dirinya dipimpin oleh pemimpin yang kolot. Mereka masih bisa berfikir mau dibawa kemana mereka, mau diapakan mereka dan hal – hal pesimitis lainnya. Mereka menginginkan pemimpin rakyat yang dapat menyuarakan keadaan lingkungan dengan sungguh – sungguh jelas, lantang dan tentunya ”benar”.
Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan atau para pemimpin negara mulai mengalami kemunduran. Tidak sedikit rakyat yang tidak peduli terhadap adanya pemerintah, bahkan ada sebagian yang mengatakan, kita tidak perlu adanya pemerintah. Kehidupan bermasyarakat akan bisa berjalan normal tanpa adanya campur tangan pemerintah. Melihat fenomena seperti ini sangat disayangkan sekali untuk terwujudnya Indonesia bersatu.
Kekecewaan rakyat sangat terlihat, apa lagi setelah mereka mendengar janji-janji yang diucapkan oleh para pemegang kekuasaan sebelum mereka memangkunya. Rakyat merasa dibohongi dengan adanya janji-janji yang pernah diutarakannya. Rasa kecewa ini bisa dimaklumi, karena setelah memangku jabatan, mereka tidak bisa memenuhi janji yang pernah terucap sebelumnya karena berbagai alasan. Akhirnya, rakyat memilih mendekap di rumah daripada datang untuk memilih calon – calon yang salah.
Percaya adalah merupakan suatu kebutuhan hidup dalam kehidupan bersama di masyarakat bahkan di kehidupan berbangsa dan bernegara, karena itu perlu adanya saling percaya bila kita ingin menjalin hubungan baik dengan siapa saja. Apabila ketidakpercayaan itu muncul maka benteng keterbatasan akan terbangun dan akhirnya mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu pekerjaan.
Pemimpin dalam bahasa Yunani kuno “THUCYDIDES”, artinya :”Memiliki pengetahuan tentang tugas, dan rasa kehormatan dalam tindakan”. Pemimpin sejati bersifat adil dan jujur dan bukan hanya karena HUKUM dan ATURAN, mereka merupakan orang yang terbuka, beretika dan dapat dipercayai (Kadir, 2001). Terbuka sebagai pemimpin berarti seorang pemimpin harus mau dan mudah bergaul dengan siapa saja yang dihadapinya. Beretika, diambil dari kata ”etika” yang dapat didefinisikan sebagai kewajiban untuk berperilaku secara bermoral, mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Sedangkan dipercayai adalah sikap yang muncul karena kejujuran. Hendaknya seorang pemimpin mempunyai kejujuran dalam mengungkapkan kebenaran di lingkungannya sehingga pengikut – pengikutnya memiliki kepercayaan untuk mengikutinya.
Hal yang paling mendasar dari organisasi adalah komunikasi. Dimana nantinya komunikasi ini memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan atau istilahnya ”nyawa” organisasi. Tidak mungkin sebuah organisasi berjalan tanpa ada komunikasi antar anggota, antar pengurus bahkan antara anggota dengan pengurus. Melalui komunikasi, pemimpin membangun kepercayaan pada pengikutnya. Kepercayaan merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung kebijakan yang diambil oleh pemimpin itu. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan kemungkinan besar juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kemimpinannya sekalipun.
Bangsa Indonesia telah berganti presiden hampir 6 kali. Dalam proses pergantian tersebut tak ada salahnya kita belajar dari karakter komunikasi mereka masing – masing. Ada petuah mengatakan, ”Kita tidak bermaksud untuk mengagung-agungkan pemimpin masa lalu, tetapi janganlah masa lalu tersebut berlalu begitu saja tanpa makna, sebab masa lalu mengandung berbagai kebajikan, kearifan yang dapat dijadikan bekal melangkah kedepan”. Oleh karena itu, karakter komunikasi kepemimpinan mereka akan diulas sesuai dengan sumber yang diambil. Mulai dari kepemimpinan Soekarno, beliau adalah sosok tegas, berani, teguh pada prinsip, bertanggung jawab, empati pada rakyat jelata dan konsisten, dalam arti tidak plin-plan. Ketegasan, keberanian, dan sikapnya yang teguh tentu sangat mempengaruhi komunikasi politik Soekarno. Selain itu, Soekarno juga seorang yang brilliant dan dikenal cepat dalam mengambil keputusan (Lesmana, 2008).
Kemudian pemimpin bangsa ke-2 adalah Presiden Soeharto. Menurut Lesmana (2008), bahasa tubuh dan kata – kata Soeharto padat. Apabila bertemu dengan Soeharto terlihat kewibawaannya dari kata – kata beliau. Soeharto adalah sosok yang bersuara cukup lembut (tidak keras) tetapi isi muatannya terasa berat. Bapak pembangunan ini mempunyai komunikasi politik yang tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele, kecuali dalam situasi tertentu.
Bacharuddin Jusuf Habibie atau lebih dikenal dengan BJ Habibie adalah seorang extrovert. Presiden ke-3 Republik Indonesia ini memiliki gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Semua orang terkejut, terutama Ali Alatas yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ketika Habibie tiba-tiba mengumumkan kepada dunia internasional tentang pemberian opsi kepada rakyat Timor Timur : tetap bergabung dengan Indonesia atau melepaskan diri sebagai negara merdeka. Si Jenius ilmuwan konstruksi pesawat terbang ini adalah sosok yang sangat temperamental. Ia cepat emosi, cepat marah, apalagi kalu diajak berdebat. Salah satu penyebab Habibie sering ngotot dalam berdebat dan bertindak emosional adalah persepsinya sebagai “orang pintar”, walaupun semua orang mengakui bahwa Habibie memang pintar. Di sisi lain, Habibie sering terjebak dalam “komunikasi topeng”. Kasus paling gambling yang melatarbelakangi komunikasi topeng ini adalah dugaan KKN Soeharto. Sejak diambil sumpahnya sebagai Presiden RI Habibie terus didesak oleh elemen-elemen masyarakat untuk segera mengusut dugaan korupsi Soeharto dan kroninya (Lesmana, 2008).
Gus Dur adalah Presiden Indonesia keempat. Masa kepemimpinannya tidak lama, hanya 21 bulan (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001). Ia dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipimpin Amien Rais dan digantikan Megawati Soekarnoputri. Meski rentang kepemimpinannya paling singkat dalam sejarah Indonesia, sepak terjangnya banyak menuai kontroversi. Manuver-manuvernya sulit dipahami. Gayanya yang ceplas-ceplos menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Gus Dur tidak bisa memisahkan statusnya sebagai kiai dan Presiden Republik Indonesia. Statusnya sebagai kiai bahkan kerap lebih menonjol daripada sebagai Kepala Negara. Akibatnya, komunikasi politik Gus Dur kacau. Sebagai kiai Gus Dur adalah sosok yang terbuka terhadap siapa saja, termasuk terbuka terhadap segala informasi yang dibisikkan kepadanya. Celakanya, Gus Dur sering percaya begitu saja pada bisik-bisik orang tanpa pernah lagi mengeceknya (Lesmana, 2008).
Presiden Indonesia kelima ini bisa disebut sebagai Presiden Indonesia paling pendiam. Putri Bung Karno ini sepertinya seorang pengikut fanatik pepatah kuno “Silence is Gold“. Namun, diamnya Megawati sering kali kelewatan. Ia tetap tak bersuara, bahkan ketika negeri ini membutuhkan kejelasan sikapnya (Lesmana, 2008). Ada kisah menarik tentang diamnya Megawati. Menjelang tutup tahun 2002 aksi-aksi unjuk rasa anti-pemerintah, terutama dilancarkan mahasiswa, menunjukkan eskalasi yang tinggi. Aksi ini menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Di tengah hingar-bingar unjuk rasa itu, beredarlah rumor yang menyebutkan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengompori rangkaian unjuk rasa itu. Setelah di usut dan ditemukan “biang” onarnya, reaksi presiden wanita Indonesia ini adalah diam dengan senyum yang indah, memaafkan dan memeluknya.
Lalu bagaimana dengan presiden kita yang terakhir ini?Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang yang selalu tampil rapi dengan tutur kata yang tertata. Sebagai seorang perfeksionis, SBY selalu berbicara hati-hati. Bahkan setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah diartikulasikan secara cermat (Lesmana, 2008).
Setiap presiden yang pernah memimpin Bangsa Indonesia memiliki karakter dan gaya komunikasi yang berbeda – beda dari yang pendiam hingga yang meletup – letup bagaikan minyak dipanasi. Ketika sekumpulan manusia atau individu ini saling berinteraksi dalam sebuah organisasi, maka satu hal yang tidak dapat dihindari adalah terciptanya komunikasi diantara pengurus. Komunikasi merupakan suatu kegiatan untuk menyampaikan, menerima dan menerjemahkan informasi diantara pengurus dan anggota organisasi. Setiap organisasi hendaknya memperhatikan kemampuan individu atau kelompok dalam organisasinya perihal kemampuannya dalam berkomunikasi baik secara verbal maupun non vervbal.
Sebenarnya tantangan komunikasi dalam konteks kepemimpinan adalah ketika menghadapi budaya. Budaya merupakan sebuah nilai yang sangat sensitif yang melekat pada sebuah kelompok, ras, etnik tertentu. Belum lagi dalam era globalisasi ini, mengakibatkan tantangan antar bangsa menjadi sebuah momok terhadap keberhasilan komunikasi. Seorang pemimpin harus dapat menyikapi hal ini dengan bijak, karena intinya perbedaan budaya adalah juga aset yang penting bagi perkembangan sebuah organisasi jika dikelola dengan benar.
Untuk menjadi pemimpin yang sanggup berkomunikasi dibutuhkan latihan, dan biasanya akan terbentuk dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Proses komunikasi yang efektif harus dimulai dari pesan yang jelas dan informative, baik itu lisan maupun dalam bentuk tulisan. Salah satu tolak ukur tersampaikannya pesan dengan baik kepada penerima pesan adalah dari sisi pemberi pesan. Pemimpin (pemberi pesan) yang dipercayai akan mampu dengan mudah menyampaikan pesan tersebut karena penerima pesan telah mengetahui kapasitas dan kredibilitas dari pemimpin.
Pemimpin sebaiknya menggunakan taktik yang jitu dalam mempengaruhi anggotanya. Hal ini berkaitan pula dengan proses komunikasi dimana nantinya anggotanya akan memberikan umpan balik dari pesan yang telah disampaikan. Salah satu taktik yang mudah diterima adalah mengedepankan rasionalitas yang diiringi dengan ketegasan yaitu konsisten dalam setiap ucapannya. Disertai pula bukti – bukti yang nyata pada setiap ucapannya sehingga anggotanya akan mudah percaya dengan apa yang disampaikannya. Tak dapat dipungkiri bahwa karakteristik yang berbeda – beda dari anggotanya akan berpengaruh pula dalam proses komunikasi. Pemimpin sebaiknya dapat mengemas pesan yang akan disampaikan sesuai dengan kondisi, situasi dan karakteristik penerima pesan. Sungguhlah berbeda apabila pemimpin berkomunikasi dengan cleaning service. Seharusnya pemimpin tidak mengeluarkan kata – kata seperti yang dipakai saat rapat dengan relasi perusahaan atau sejenisnya. Hal ini karena ada perbedaan pengalaman dan pengetahuan kerja. Oleh karena itu, fleksibilitas komunikasi dari seorang pemimpin harus diperhatikan dengan seksama.
Peran pemimpin tentu sarat dengan dunia mempengaruhi. Maka komunikasi adalah “jantung”nya kepemimpinan tersebut. Seorang pemimpin dalam penyampaian pesan sebaiknya menggunakan kata – kata yang kuat. Maksudnya adalah penggunaan kata yang mempunyai arti kuat dan lebih dari kata biasanya. Misalnya, apabila akan mengucapkan kata perubahan, maka diganti dengan reformasi. Penggunaan kata – kata yang kuat ini menunjukkan kualitas dari seorang pemimpin. Akan tetapi, berhati – hatilah dalam menggunakan kata – kata kuat tersebut. Tak jarang pemimpin yang salah dalam menempatkan kata – kata kuat pada kalimatnya. Oleh karena itu, jangan terlalu sering menggunakan kata – kata kuat yang masih diragukan artinya.
Lalu bagaimana dengan gaya komunikasi? Drs Christiana Sahertian dalam out bond management training Integritas Perempuan dalam Memimpin (2009) di malang menjelaskan bahwa gerak-gerik tubuh dan penampilan berperan 50 persen dalam menentukan efektif atau tidaknya suatu komunikasi. Sementara irama, kecepatan, nada dan kejelasan berbicara hanya berperan 38 persen dan sisanya ditentukan oleh faktor kata-kata yang disampaikan. Karena itu ketika berkomunikasi, seorang pemimpin harus bisa memperlihatkan penampilan dan gaya bicara yang menyenangkan kepada anggotanya. Komunikasi tersebut seringkali disebut dengan komunikasi nonverbal, menurut Dubrin (2001) ada beberapa hal yang dapat ditunjukkan oleh seorang pemimpin, yaitu :
1. Selalu menegakkan badan dalam berkomunikasi
2. Menatap lawan bicara dan memlihara kontak mata dengan lawan bicara
3. Berbicara dalam volume yang sedang, tidak terlalu keras dan denggan intonasi yang teratur
4. Senyum sesaat, jangan senyum yang terlalu lebar, menunjukkan bahwa anda adalah orang yang serius tapi santai
5. Selalu mempersilakan lawan bicara untuk menjawab maupun merespon sesuatu yang telah pemimpin sampailaikan.
Sikap nonverbal yang mendukung komunikasi di atas bertujuan untuk memperkuat penampilan diri dan membangun kepercayaan anggota. Sikap nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika berbincang – bincang, penyampaian gagasan dan pikiran seringkali melalui pesan – pesan nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banyak ”membaca” pikiran melalui petunjuk – petunjuk nonverbal. Komunikasi nonverbal berfungsi untuk memperjelas maksud dan makna pesan sehingga tercapailah komunikasi yang berkualitas tinggi.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa komunikasi dapat menimbulkan kepercayaan. Komunikasi dapat mencairkan kebekuan dari suatu masalah, mengupas segala persoalan dan dapat menghilangkan segala prasangka. Dengan komunikasi yang baik diharapkan pemimpin dapat mengayomi, membimbing bawahannya, memberi paradigma yang berbeda dan berbagi pengalaman. Begitulah hakikat dari komunikasi sehingga menimbulkan kepercayaan kemudian dengan kepercayaan maka keharmonisan dapat diraih dan menjadikan organisasi mempunyai benteng dari pengaruh lingkungan luar yang berdampak negatif. Keharmonisan dari komunikasi itu pula yang dapat membuahkan hasil jangka panjang yang menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Dubrin, Andrew J. 2001. Human Relations & Interpersonal Job – Oriented Skills (7th Ed). New Jersey : Prentice Hall
Lesmana, Tjipta. 2008. Dari Soekarno sampai SBY, Intrik & Lobi Politik Para Penguasa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
B. ARTIKEL INTERNET
Anonim, ”Komunikasi Efektif”, http://www.malangpostnews/index.php.htm, diakses tanggal 24 Mei 2009
Kadir, Rahman A, ”Ketika Krisis Kepercayaan Melanda Pemimpin Pemerintahan”, www.google.com , diakses tanggal 13 Mei 2009